Minggu, 06 Oktober 2013

Cerpen si gendut menjebak tuyul


Si Gendut Menjebak Tuyul


Memang badannya sangat gemuk, sehingga oleh temannya dipanggil si Gendut. Sebetulnya namanya Bambang, tetapi nama itu sendiri hampir dilupakan orang, sebab mereka lebih suka memanggilnya Gendut dari pada Bambang. Kecuali ayah ibunya, tak ada yang memanggilnya Bambang.
Gendut tidak marah dengan sebutan istimewa itu. Justru itu menyebabkan dirinya disenangi oleh teman-temannya selain ia sendiri memang suka melucu.
si gendut
Si Gendut Menjebak Tuyul?
Terhadap takhayul, Gendut percayanya setengah mati. Ada-ada saja ceritanya mengenai hal tersebut. Pada suatu hari ia menemui beberapa orang temannya lalu bercerita kepada mereka, bahwa ayahnya baru saja kehilangan uang.
“Barangkali terjatuh di jalan,” sahut Didi.
“Kata ayah tak mungkin. Sebab ketika sampai di rumah uang itu masih genap.”
“Mana kau tahu bahwa uang itu masih genap?” sela Budi.

“Ayah yang mengatakan,” Gendut menandaskan.
“Berapa jumlah uang yang hilang itu?” tanya yang lain.
“Tidak banyak. Cuma seribu rupiah.”
“Barangkali ayahmu lupa menaruhnya.”
“Ayahku belum pikun, kawan!” pekiknya geram, sementara itu teman-temannya sama tertawa berhamburan.
“Diam! Diam! Diam!” anak-anak itu diam seketika mendengar bentakan Gendut yang sekeras geledek itu. Lalu lanjutnya:
“Dengarlah! Kami memang sering kehilangan uang, tetapi bukan karena terjatuh di jalan atau lupa menaruhnya, melainkan hilang diambil tuyul.”
“Ah, mana mungkin ada tuyul di kampung kita ini,” kata Budi.
“Bukan dari kampung kita melainkan dari kampung lain,” Gendut mempertahankan omongannya.
“Sayang aku tak pernah memergoki tuyul-tuyul itu. Seandainya aku bisa menangkapnya, pasti akan kucincang dan kusate tubuhnya. Ah, sayang!”
Anak-anak diam. Rupanya mereka mulai percaya akan omongan si Gendut ini.
“Kabarnya dengan mempergunakan kepiting sungai kita dapat menangkap tuyul itu,” ujar Didi memecah keheningan.
“Mengapa harus dengan binatang itu? Tidak! Aku ada jalan lain,” sahut Yono dari belakang. Yono dikenal anak-anak itu sebagai anak yang bandel.
“Bagaimana caranya? Dengan apa harus kita tangkap?”
“Ini harus kita kerjakan pada malam hari waktu terang bulan. Untung nanti malam terang bulan. Jadi sudah bisa kita kerjakan.”
Kemudian Yono membeberkan rencananya. Anak-anak mendengarkan dengan penuh minat. Mereka memang mengakui bahwa Yono selain bandel juga sangat pandai mengatur siasat.
“Percayalah!” ujar Yono sehabis memberi keterangan: “Dengan jalan ini si tuyul itu tak mungkin akan terlepas dari perangkap kita, pasti akan tertangkap basah!”
“Lantas siapa yang akan kita jadikan umpan?” tanya Agus.
“Ya, siapa? Aku tak mau. Hiii, takut. Siapa?” mereka kembali ramai. Saling menunjuk dan saling menolak.
Yono segera meredakan keadaan itu. Katanya:
“Begini saja! Karena yang sering kehilangan uang adalah pihak si Gendut, bagaimana kalau dia saja yang kita jadikan umpan. Mau tidak kau, Dut?! Bukankah kau ingin sekali mencincangnya?”
Gendut diam saja. Bimbang sekali hatinya. Sebenarnyalah ia juga merasa takut. Tetapi karena didesak oleh teman-temannya, maka akhirnya ia pun mau menerima pula.
“Tapi ingat, kalian harus menjagaku dari balik semak-semak,” pesannya.
“Jangan khawatir! Tanggung beres!” sahut Yono.
Bulan bergantung di langit dengan senyum rawannya. Angin dingin menyebarkan kisiknya kepada dedaunan, sementara batu-batu menggigil menahan dingin yang menyengat.
“Ayo, cepatlah, Dut!” peritah Yono lirih. Sejenak Gendut ragu.
Baru setelah kawannya itu mengulangi perintah, pelan-pelan ia melolosi pakaiannya satu per satu. Sebentar saja tubuhnya yang bulat itu telah polos plontos. Anak-anak yang lain berusaha menahan geli menyaksikannya.
“Nah, sekarang duduklah kau di atas batu itu,” kembali perintah Yono. “Kemarikan pakainmu itu, biar aku saja yang membawanya. Ingat! Kau harus menghadap ke timur. Sebab tuyul selalu muncul dengan membelakangi cahaya. Nah, cepat kerjakan! Kami akan menjagamu dari belakang. Di gerombolan semak itu.”
Gendut berjalan menuju batu besar dan mengerjakan seperti apa yang diperintahkan oleh sang kawan. Sesekali ia menoleh ke belakang melihat teman-temannya yang mulai berlompatan masuk ke dalam semak.
Suasana sangat hening. Hanya bunyi jengkerik dan belalang berusaha mendobrak kesunyian itu. Di atas batu besar Gendut duduk bersila menghadap ke arah timur.
Angin dingin mengusap tubuhnya yang telanjang itu, membuat kulitnya merinding semua. Ditahannya napas sementara matanya jalang menatap ke depan. Berdebar-debar hatinya menantikan kemunculan tuyul itu.
Sementara itu, di dalam semak-semak Yono membisiki teman-temannya. Terdengar kasak-kusuk sejenak, kemudian kembali sepi.
Dengan hati-hati anak-anak itu beringsut ke belakang. Kian lama kian jauh dari tempat Gendut bersila. Kemudian mereka itu pun berlari meninggalkan tempat tersebut sambil tertawa terbahak-bahak.
Gendut sangat terkejut dengan kenyataan itu. Segera saja benaknya merasakan firasat bahwa dirinya telah ditipu oleh teman-temannya. Maka dengan tangkas ia meloncat turun. Sejenak ia terlongoh menyadari dirinya dalam keadaan telanjang bulat, dan…
“Ya, ampun! Pakaianku dibawa mereka. Kurang ajar!” Gendut mengumpat kalang kabut. Hampir ia menangis menyesali nasib yang menimpa dirinya.
Segera saja ia berlari pulang dalam keadaan telanjang. Beberapa orang yang kebetulan menyaksikannya terheran-heran dan mengira Gendut sudah tidak waras lagi. (R.Purwanto-Bobo)

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar