Minggu, 06 Oktober 2013

SEKOLAHKU TERCINTA

Sekolahku Tercinta

Aku masih menangis sekeras-kerasnya. Apa yang ada disampingku kujadikan sasaran. Bantal, guling di dekatku sudah berapa kali kulempar-lemparkan ke lantai.
Kalau tak diambil Ibu, temboklah yang jadi sasaran tanganku. Rasa sakit di tanganku tak kurasakan. Karena aku sedang melampiaskan amarahku yang teramat sangat.
Sekolah_medium
“Sudahlah, En, tak usah kau menangis. Semuanya sudah berlalu. Kalau mau, tahun depan kau berusaha lagi. Dan Ibu yakin kau pasti diterima. Tapi kalau tak mau, mendaftarlah saja ke SMP swasta besok. Menurut Ibu, SMP Nusantara merupakan SMP swasta yang baik di kota kita ini.” Itulah kata-kata Ibu yang kudengar di antara tangisku yang kian lama kian menjadi-jadi.
Aku tak menggubris kata-kata Ibu. Aku sangat heran, mengapa aku tak diterima di SMPN II? Sejak semula aku bercita-cita untuk sekolah di SMPN II. Tapi kenyataan sangat mengecewakan.
Aku tak diterima. Padahal Santi anak bodoh dan sombong itu dapat diterima. Dan Toto anak yang terkenal nakalnya itu juga diterima. Tetapi di balik semua itu, mereka memang anak orang kaya.
Mungkinkah mereka membeli nilai dengan sebagian hartanya?
Hm, jadi hasil pikiranku digaet oleh orang-orang yang malas berpikir tapi bisa membeli nilai? Tiba-tiba aku menjadi sadar. Aku berlari ke dapur mencari Ibu.
“Bu, maafkan Eni yang tadi telah menyampakkan kata-kata Ibu,” kataku bergetar dan terhisak-hisak.
“Ibu memaafkanmu, Eni. Dan besok mendaftarlah ke SMP Nusantara itu. Ibu senang kau mau insyaf,” kata Ibuku.

Kupeluk erat-erat Ibuku yang begitu agung dan sabar. “Ya, Bu, sa… sa… saya insyaf,” kataku lirih tersendat-sendat.
“Berapa pun biayanya, Ibu dan Ayah masih sanggup membiayaimu. Asalkan kau betul-betul rajin belajar dan patuh pada orangtua maupun pada Bapak-Ibu Guru,” tutur Ibu.
Aku tersenyum. Ibu pun tersenyum, haru. “Istirahatlah sekarang,” perintah Ibu.
Sore harinya aku ke rumah Rini, temanku. Rini itu anak yang baik, ramah tamah. Pandai lagi!

“Selamat sore, Rin,” sapaku.
“Hai, kau Eni. Tumben mau main ke rumahku,” katanya sambil tersenyum.

“Jangan bercanda ah! Masakan baru satu minggu tidak kesini di katakan tumben,” sahutku bersungut.
“Jangan marah dong. Kalau marah lekas tua lho,” katanya lagi. “Yok, masuk. Jangan di luar, ah!”

Aku pun masuk.
“Tampaknya sepi saja. Ke mana adikmu, Rin?”
“Lagi main ke tetangga sebelah.”

“He, ngomong-ngomong bagaimana kamu, Rin? Diterima di SMP II tidak?”
“Alhamdulillah. Aku diterima,” jawab Rini. “Dan kau bagaimana, En?”

Aku menghela nafas panjang. “Aku tak diterima, Rin,” jawabku lesu.
“Kau tak diterima?” tanyanya heran dan bengong. “Lalu?”

“Maksudmu?” aku balik bertanya.
“Eh… em… anu… kau sekarang akan sekolah di mana?”

“Menurut Ibu, aku diminta mendaftarkan ke SMP Nusantara. Kau tahu kan, sekolah swasta itu cukup maju,” kataku.
“Ya… ya… aku juga mendengar bahwa SMP Nusantara cukup maju,” kata Rini sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ketika sudah lama ngobrol, akhirnya aku pamitan pulang. “Belum juga minum,” kata Rini. “Kok buru-buru amat sih?”
“Titip sungkem saja untuk Ayah Ibumu,” kataku sambil berdiri dan melangkah keluar rumah.
“Ya, nanti saya sampaikan.”

Rini mengantar aku sampai ke pagar halaman rumahnya. Rini adalah temanku yang baik. Selain ramah dan baik hati, dia juga pandai. Dan dia pun pernah menggondol juara I cerdas cermat se-kabupaten. Maka tanpa kesulitan dia diterima di SMPN II.
Sesampai di rumah, aku memberitahukan bahwa Rini diterima di SMP II. “Biarlah. Kau jangan merasa putus asa. Belajarlah yang rajin, kelak kau juga akan seperti dia,” kata Ibuku.
Aku tahu maksud Ibu. Aku pun mengangguk-angguk saja. Aku pun berlari-lari kecil masuk ke kamarku, membalik-balik buku-buku dan majalah-majalah.
Kuambil sebuah majalah, lalu kubaca dengan tenang di kamar. Halaman demi halaman kubaca, lama-lama aku merasa pusing. Sudah terlalu banyak halaman yang kubaca. Akhirnya kuletakkan majalah itu dan aku berbaring di tempat tidurku.
Kembali kukenang SMPN II itu. Ya… ya… aku terlalu ikut-ikutan teman-teman yang bercita-cita masuk ke SMPN II. Teman-teman mau masuk ke SMPN II hanya karena sekolah itu sangat bagus modal bangunannya.
Bahkan bertingkat dua dan diberi taman-taman bunga yang indah-indah. Maka sekolah itu sangat dibangga-banggakan setiap siswa-siswi sekolah itu. Dan… saling bersaing dalam soal materi. Misalnya mengenai, pakaian dan kendaraan yang serba mesin (tentu motor dong?)
Hehhh! Aku mendesah penuh penyesalan. Seandainya aku diterima! Lalu apa yang aku banggakan? Orangtuaku hanya seorang pegawai rendah. Dan apabila pakaiannya kurang bagus selalu diejek.
Karena anak-anaknya sombong-sombong. Mentang-mentang anak orang kaya. Dan selalu menghamburkan uang orangtuanya hanya untuk bersaing-saingan.
“Ah, aku tak menyesal dan tak bersedih hati. Yang penting aku harus belajar dan meneruskan cita-cita,” kata hatiku.
Ah, rupanya aku sudah berkali-kali menguap. Ngantuk sekali. Sebelum tidur aku memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa.
Semoga aku diberi ketabahan iman dan selalu dijauhkan dari perbuatan-perbuatan tercela. Seusai berdoa aku pun tidur pulas.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar