Iwan dan Mimpinya
Sebenarnya ia suka pada hidangan yang tersedia, tetapi ia paling suka
melihat Ibu dan Bi Onah sibuk melayaninya. Dan Iwan senang bila Ibu dan
Bi Onah merasa takut Iwan menjadi sakit bila tidak makan, Iwan memang
nakal!
Tentu saja apa yang dimintanya hampir selalu dipenuhi sebab Iwan anak tunggal. Dan Iwan tahu hal ini.
Pada suatu malam, Iwan bermimpi menjadi seekor burung merpati. Bukan
main senangnya hati Iwan karena dapat terbang ke mana saja menurut
kehendaknya.
Langit masih gelap. Belum ada orang yang bangun di sekitar itu.
Semua rumah juga masih gelap. Tetapi di kejauhan Iwan melihat sebuah
rumah kecil. Lampu minyak di rumah itu berkelap-kelip.
Iwan ingin sekali mengetahui siapa penghuni rumah yang serajin itu.
Ia bertengger di sebuah dahan di muka jendela rumah itu. Benar, seisi
rumah telah bangun dan sibuk mengerjakan sesuatu.
Siapakah mereka? Iwan seperti mengenal anak laki-laki itu. Iwan
heran melihat anak laki-laki itu dan adik perempuannya telah bangun
sepagi ini.
Padahal Iwan dibangunkan Ibu setiap pagi pukul setengah tujuh.
Seringkali ia bersungut-sungut karena masih mengantuk. Dan yang menjadi
sasaran kekesalannya adalah Bi Onah dan Pak Supir.
Ia baru ingat, anak laki-laki itu bernama Joko, teman sekelasnya.
Iwan paling suka mengolok-olok Joko karena setiap pagi sebelum berangkat
sekolah, Joko harus mengantarkan koran ke rumah-rumah langganan.
Yati, adik Joko pun menjajakan kue sebelum berangkat sekolah. Pagi
itu seperti biasanya, mereka sekeluarga sedang menyiapkan segala
keperluan. Ibu dan Yati membuat kue, Joko membersihkan pekarangan rumah
sedang Ayah mempersiapkan bemonya.
Matahari mulai terbit. Langit tampak kemerah-merahan. Orang-orang
mulai bangun dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Yati sudah siap
untuk menjajakan kuenya. Ayah telah berangkat dengan bemonya. Joko pergi
ke agen untuk mengambil koran sedang Ibu memandikan adik.
Iwan masih saja bertengger di dahan pohon. Senang sekali, ia melihat
orang dan kendaraan lalu lalang di bawahnya. Tiba-tiba terdengar suara
Yati. Rupanya tugas Yati pagi ini telah selesai. Kuenya telah habis
terjual.
Cepat-cepat ia mengenakan pakaian seragamnya dan berangkat ke
sekolah. Tak lama kemudian Joko pun datang. Koran-koran telah diantarkan
ke para langganan. Ia pun bergegas ke sekolah.
“Mereka tidak membawa bekal. Mereka hanya sarapan secukupnya. Dan anehnya Joko dan Yati tidak merengek minta uang jajan!”
Perut Iwan terasa lapar, tentu saja karena ia belum sarapan. Di mana
ia harus mendapatkan makanan? Ia terbang ke rumahnya. Untung tidak ada
orang di dapur. Dimakannya nasi tanpa lauk dan minum air putih. Terasa
nikmat sekali.
Setelah cukup makan dan minum, Iwan terbang kembali ke pohon dekat
rumah Joko. Hari sudah siang benar. Anak-anak sekolah dengan gembira
berlarian pulang.
“Nah, itu dia Joko dan Yati!” Tampak pada wajah mereka, bahwa mereka menahan lapar dan haus. Mereka berlari pulang.
Di rumah, Ibu telah sibuk menyiapkan makanan. Tapi mereka menunggu Ayah pulang agar dapat makan bersama.
Sebentar kemudian terdengar suara bemo. Itu pasti Pak Udin, ayah Joko
dan Yati. Sekejap saja Joko dan Yati telah berada di dapur, siap dengan
piring. Mereka sudah tidak sabar lagi menanti Ayah masuk.
Di atas meja ada sebakul nasi merah, tempe lima potong dan sayur
asam. Mereka makan dengan lahap dan masing-masing menceritakan
pengalamannya hari itu. Tampaknya mereka senang sekali.
Makanan yang sedikit itu dengan sekejap habis tandas. Iwan tahu mereka masih merasa lapar, tetapi mereka berusaha melupakannya.
Setelah makan, Yati membantu Ibu mencuci piring dan mengasuh adik.
Joko ikut Ayah. Biasanya pulang sekolah ia menjadi kenek ayahnya. Semua
kembali sibuk.
Iwan teringat, pasti meja makan di rumahnya penuh dengan aneka ragam
makanan. Iwan bosan, oleh sebab itu ia selalu mencari makanan yang lain.
Dan hari ini ia ingin sekali makan nasi dengan tempe dan sayur asam
bersama Pak Udin.
Hari sudah gelap. Rumah Joko telah diterangi lampu minyak. Sinarnya
kelap-kelip. Suara bemo terdengar lagi. Pak Udin dan Joko telah kembali.
Bukan main lelahnya mereka. Ibu menyambut dengan senyum.
Setelah Ayah dan Joko mandi, mereka bersama-sama menikmati makan
malam. Seperti siang tadi, mereka makan tempe goreng, nasi dan sayur
asam. Hanya malam ini Ibu membuat kue talam. Seorang mendapat sebuah.
Setelah agak larut, Ibu menidurkan adik. Ayah beristirahat sambil
membaca koran, Yati dan Joko belajar. Iwan tersenyum lalu terbang
kembali ke rumah orangtuanya.
Badannya terasa sangat lelah. Ia tidak sanggup terbang sampai ke
rumahnya. Maka ia hinggap saja di atas atap sebuah becak. Tapi tiba-tiba
becak itu berguncang-guncang. Sayup-sayup ia mendengar namanya
dipanggil.
“Iwan, Iwan! Ayooo, bangun hari sudah siang, nanti kau terlambat ke sekolah!” Iwan melihat ibunya sudah berada di sampingnya.
Sambil tersenyum, ia ke kamar mandi. Bi Onah dan Ibu terheran-heran
melihat kelakuan Iwan. Byuur… byuuur… terdengar Iwan mandi. Lalu ia
makan sarapannya dengan lahap. Semua dikerjakannya sendiri.
Tanpa meminta uang jajan, Iwan pergi ke sekolah diantar oleh Ayah.
Iwan ingin cepat-cepat tiba di sekolah. Karena mimpinya, Iwan sadar akan
tingkah lakunya selama ini.
Dalam hati ia berjanji akan menjadi anak-anak teladan seperti Joko dan Yati.
0 komentar:
Posting Komentar