Eci di Rawa Pening
Padahal setelah ditelusuri tidak ada anak yang pernah tenggelam di
rawa. Tidak ada yang tahu kalau yang menangis itu adalah Eci, peri
penguasa tanaman eceng gondok yang menutupi perairan Rawa Pening.
Eci amat sedih karena dia mendengar manusia tidak menyukainya. Ia
dianggap gulma yang mengganggu karena menyerap air rawa dan kadar
oksigennya, serta mengakibatkan pendangkalan rawa.
Eci sudah berusaha menghambat pertumbuhan tanamannya, tetapi tidak bisa, memang sudah sifat alaminya tumbuh cepat di air.
Malam itu, setelah lelah sepanjang hari berusaha berhenti tumbuh, Eci mendengar tukang perahu mengumpati dirinya.
Tukang perahu itu kesal karena daun dan tangkanya menghalangi perahunya melaju di rawa.
Wah, saking sedih dan sakit hatinya, Eci mulai memerintahkan daun dan
tangkainya untuk tumbuh panjang, membebat perahu itu, dan
menenggelamkannya ke dasar rawa.
“Tunggu! Jangan!” Eci tersentak. Sesuatu menahan daun dan tangkainya.
Perahu itu berlalu pergi dengan aman. Perlahan suatu sosok ular besar
muncul dari dasar air.
“Aku mengerti perasaanmu,” ujar ular besar itu sambil tersenyum ramah kepadanya.“Namaku Baru Klinting,” kata ular itu.
Ah, Eci pernah mendengar nama itu saat pertama benihnya jatuh di Rawa Pening.
Menurut legenda setempat, Baru Klinting itu dulu adalah anak
laki-laki sakti yang dikutuk penyihir sampai tubuhnya dipenuhi luka
berbau amis.
Karena lukanya itu, Baru Klinting dijauhi oleh penduduk desa. Baru
Klinting sedih sekali. Bukan maunya dikutuk oleh penyihir sampai luka
berbau seperti itu.
Baru Klinting kelaparan dan penduduk desa tetap menolaknya. Untung ada seorang Nyai baik hati yang bersedia memberinya makan.
Selesai makan, Baru Klinting pergi ke tengah desa dan menancapkan
sebatang lidi di situ. Baru Klinting bilang siapa pun yang bisa mencabut
lidi itu, akan mendapat hadiah.
Semua penduduk desa berlomba-lomba mencoba mencabutnya, tetapi tidak
ada yang berhasil. Setelah semua gagal, Baru Klinting mengulurkan tangan
dan mencabut lidi itu dengan mudah.
Bersamaan dengan dicabutnya lidi itu, air mengucur keluar
menenggelamkan seluruh desa dan mengubah wujud Baru Klinting menjadi
ular besar penunggu rawa. Ya, perairan itulah yang disebut Rawa Pening.
Seluruh penduduk desa tewas tenggelam kecuali Nyai baik hati yang
memberi makan Baru Klinting. Nyai itulah yang menyebarkan kisah Baru
Klinting.
Legenda yang Eci dengar bervariasi, tetapi intinya tetap sama. Namun,
tak pernah dikiranya kalau Baru Klinting dan ular penunggu rawa itu
memang ada.
“Aku dulu juga sangat bersedih sampai aku marah dan menenggelamkan
mereka semua. Sayang, aku lalu diubah menjadi ular karena dianggap tidak
bisa mengendalikan diri,” kata Baru Klinting dengan sedih.
Eci menepuk-nepuk kepala ular yang tampak muram itu, berusaha menghiburnya. “Terima kasih, Eci,” Baru Klinting tersenyum.
“Pesanku bersabar sajalah. Tidak ada makhluk yang diciptakan hanya
untuk mengganggu makhluk hidup lainnya,” tambahnya lagi sambil perlahan
menghilang kembali ke dasar rawa.
Sejak itu Eci menerima dengan tabah umpatan dan makian manusia yang
menganggapnya hama. Sampai akhirnya, hari yang dinantikannya tiba!
“Pak, lihat! Batang eceng gondok yang kemarin bapak tebang, bisa
kuanyam jadi keranjang seperti ini!” seru Hasan, anak laki-laki yang
tinggal di tepi Rawa Pening.
Keranjang anyamannya memang terlihat unik. Eci senang sekali saat
penduduk desa lainnya ramai-ramai mengambili batangnya untuk dijadikan
kerajinan lainnya. Kerajinan-kerajinan itu lalu dijual kepada
turis-turis yang mengunjungi Rawa Pening.
Kegembiraan Eci pun semakin meluap saat salah satu turis itu
memberitahu para penduduk desa bahwa ia, tanaman eceng gondok, yang
dianggap hama itu ternyata bermanfaat menyerap zat logam berat!
Wah, berkat dia penduduk desa tidak akan keracunan zat logam yang banyak mencemari ikan di perairan sekitar.
Sekarang ganti penduduk desa memuji-muji dirinya. Eci tersenyum
bangga. Kini tidak terdengar lagi suara bisik tangisannya di Rawa
Pening.
0 komentar:
Posting Komentar